Pawang Hujan: Balada Kemusyrikan yang Dipandang Sebelah Mata dan Potret Kemajuan Indonesian Local Science

KMNU Universitas Indonesia
6 min readMar 26, 2022

--

Oleh: Muhammad Saiful Arifin, Muhammad Yazid Ahsanunnafi’, dan Isyfina Ziyantifani

Ahad, 20 Maret 2022, sekitar pukul 15.30 WITA. Tampak seorang wanita berjalan di tengah derasnya hujan yang mengguyur Sirkuit Mandalika, sembari memukul-mukul dan memutar-mutarkan pemukul pada bejana kecil yang dibawanya bersama dupa. Sebuah ritual yang akhirnya mendapatkan tanggapan “IT WORKED! 🙏” dari akun twitter @MotoGP, kendati tak sepenuhnya berhasil ‘mengusir’ hujan.

Sebuah fenomena yang mengheboh jagat maya lokal dengan berbagai kontroversi yang dipicunya, entah kecaman, pujian, maupun refleksi. Beberapa pihak mengaitkannya dengan topik religi, dan sebagian lainnya berdebat mengenai keprimitifan publik dalam menanggapi hujan, ataupun upaya pemasaran budaya lokal. Kabarnya pula, ini hanya merupakan inovasi dalam memasarkan budaya lokal dengan kerjasama dari BMKG.

Pawang Hujan Perspektif Islam

Dalam tradisi Islam, ada banyak unsur magis yang tidak berdasarkan empiris juga, seperti kisah penciptaan manusia dan alam, shalat minta hujan (istisqa’), doa, Isra Mi’raj, cium hajar aswad, surga neraka, dan lain-lain. Bedanya lebih canggih, ada dalil teks, banyak komunitas penganutnya, dst. Maka, dalam menyikapi kontroversi ini, perlu kita gunakan beberapa pendekatan.

Perlu dipahami, meyakini sepenuhnya bahwa pawang hujan mampu mengendalikan hujan jelas tidak benar, karena hakikat di dunia ini semua telah diatur dan dikendalikan oleh Allah. Hujan adalah rahmat-Nya, dan bagaimanapun yang berkehendak untuk menurunkan dan tidak, air hujannya banyak atau tidak dan hal-hal yang yang berkaitan dengan hujan adalah Maha Kuasa-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di sisi lain, kita tidak boleh menafikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memiliki sifat Maha berkehendak dan mengabulkan do’a. Ketika hamba meminta untuk tidak diturunkan hujan atau dalam hal ini mengendalikan hujan, Allah memiliki hak untuk mengabulkan do’a hambanya agar menunda hujan terlebih dahulu. Justru hal ini menjadi rahmat bagi umat sekaligus menunjukkan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mengendalikan hujan sama dengan ‘merayu’ Allah untuk tidak menurunkan hujan di suatu tempat dan di waktu-waktu tertentu. Maksud merayu disini adalah bermunajat dan berdoa dengan lantunan ayat suci, sholawat, dan dzikir-dzikir lain sebagai ikhtiar meminta pertolongan kepada Allah untuk sementara waktu di suatu tempat tersebut untuk tidak menurunkan hujan.

Pawang hujan tidak salah apabila yang diusahakan dan dilakukan masih meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pengendali hujan yang sebenarnya. Ketika pawang hujan tersebut merasa bahwa dirinya yang mampu mengendalikan hujan tanpa bantuan siapapun disitulah perlu ditanyakan kembali keimanannya.

Lalu bagaimana hukum menyewa pawang hujan? Jika menyewa pawang hujan dengan diniati karena kemampuannya dalam mengendalikan hujan, maka akad semacam demikian termasuk akad yang gharar (spekulatif). Dengan demikian akad sewanya menjadi fasidah/akad yang rusak (karena ini hak prerogatif Allah SWT).

Namun jika pawang hujan disewa karena kemampuan membaca doa dan memohon agar hujan agar hujan tidak turun. Hal ini sah hukumnya dalam fiqih, sebagaimana menyewa orang agar membaca Al-Qur’an di makam orang tertentu dengan niat pahalanya disampaikan kepada ahli kubur atau menyewa orang agar mengajarkan Al-Qur’an.

Dapatkah ritual “Pawang Hujan” dibuktikan secara ilmiah?

Jikalau hukum menggunakan jasa pawang sebagai sarana mistik untuk mendatangkan atau memindahkan hujan merupakan transaksi yang tidak sah, bagaimana jika jasa pawang tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah? Bukankah hal tersebut menjadi sebuah ikhtiar tanpa adanya campur tangan metafisik selain takdir? Apakah Pawang Hujan sendiri pada hakikatnya merupakan sebuah prosedur ilmiah?

Sebenarnya, upaya mengendalikan hujan secara ilmiah telah dilakukan sejak lama oleh para ilmuwan dunia. Salah satu tokoh tersukses di antaranya adalah Charles M Hatfield. Diberitakan bahwa ia berhasil menemukan ramuan pendatang hujan sekitar seabad lalu, menghasilkan julukan “The Rainmaker” yang disematkan kepadanya. Namun, keberhasilan mendatangkan hujan tampaknya tak diiringi dengan kemampuan menghentikan ataupun memindahkannya. Tercatat, kota San Diego mengalami bencana banjir yang sangat merugikan selama beberapa bulan setelah “Proyek Pembuatan Hujan” dilakukan secara masif oleh Hatfield.

Sepanjang sejarah “Pengendalian Hujan” oleh para ilmuwan, hanya ditemukan usaha-usaha untuk mendatangkan hujan seperti TMC dengan pengeluaran ratusan juta rupiah tiap harinya. Tak ditemukan jejak spesifik dalam usaha memindahkan hujan ke tempat lain. Bandingkan dengan pawang hujan yang hanya memerlukan beberapa bahan alam sebagai sesajen, serta ornamen seperti kendi, dupa, dan pemukul kecil. Sebuah perbedaan yang sangat menunjukkan betapa majunya kearifan lokal ini.

Sesuatu yang sebenarnya tak dapat diterima secara akal sehat, mengingat “Sang Pawang” sendiri, Rara Istiati Wulandari hanya menjelaskan proses pemindahan hujan melalui sudut pandang mistisnya. Dalam berbagai wawancara, ia memberikan penjelasan mengenai metode Singing Bowl dan beberapa jenis gelombang beserta kemampuan khusus pawang untuk menerima salah satu gelombang. Tidak ada pembuktian empiris yang menunjukkan hal tersebut, selain redanya hujan pasca dilakukannya ritual.

Namun, hal ini memang sudah lumrah terjadi di kultur Indonesia, khususnya Jawa, mengingat sejak zaman dahulu budaya Kejawen memang sangat identik dengan hal mistis. Padahal, hakikat yang dimaksud dari mitos-mitos yang beredar sebenarnya sangat logis. Contohnya pada pantangan-pantangan seperti anak perempuan yang tak boleh keluar malam karena adanya sosok gaib yang akan mengganggunya, atau pengidentikan hutan dan gunung sebagai sarang makhluk gaib yang harus dihormati. Para leluhur pemikir kita tampaknya membalut ajakan melestarikan alam agar alam tak menghancurkan peradaban kita dengan nuansa mistis agar mudah diterima oleh masyarakat di masa itu.

Kesimpulan serupa kemungkinan juga berlaku pada pengendalian hujan oleh pawang, bahwa dibalik kemampuan memindahkan hujan, terdapat penjelasan ilmiah yang lebih mutakhir dibandingkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh para ilmuwan modern. Bahwa budaya kita sebenarnya telah maju sejak dahulu. Tanpa penelusuran lebih dalam, kepercayaan buta akan hal-hal gaib tersebut akan menghilangkan sikap logis yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, bahkan menjerumuskan kita dalam kemusyrikan ketika diniati selain dengan menggunakan nama-Nya. Na’udzubillah.

Islam agama yang penuh dengan unsur magis

Allah menyuruh hamba-Nya untuk mendekat pada-Nya, salah satunya menggunakan daya pikir. Afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir?), afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal?), atau afala yatadabbarun (apakah mereka tidak merenung?), tidak hanya sekali-dua kali ditemukan dalam redaksi Al-Qur’an. Ini membuktikan bahwa Islam menyuruh untuk berpikir dan merenungkan segala sesuatu yang diciptakan di dunia ini. Dalam QS. Ali Imran ayat 191, Allah berfirman:

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ

سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ — ١٩١

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

Tidak luput dari ingatan akan kisah Fir’aun dan Nabi Musa. Kala itu, Fir’aun mengejar Nabi Musa, lalu Nabi Musa menunjukkan mukjizat kenabiannya dengan membelah lautan. Tidak terlupa juga kisah Nabi Sulaiman yang memerintahkan kaum jin untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis lebih cepat dari kedipan mata. Bahkan, mukjizat itu sendiri pun bagian dari magis.

Lalu, QS. Al-Baqarah ayat 3,

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ — ٣

Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Tidak semua hal dapat dirasionalkan dengan akal manusia. Ada banyak kasus dimana hal-hal tersebut hanya perlu diyakini kebenarannya. Salah satu penyebabnya adalah daya nalar manusia terbatas. Ibarat kata ilmu dan kekuasaan Allah seluas samudra, ilmu yang Dia karuniakan kepada manusia tidak lebih banyak dari satu tetesan jarum. Amat sedikit.

Walhasil, menyikapi fenomena magi dalam religi, sebagai seorang believer, tidak semua hal dapat masuk ke dalam daya nalar manusia. Akan tetapi, bukan berarti kita lantas tidak mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lain, ada hikmah dan pelajaran apa di baliknya. Diksi yang mengandung hukum seperti “syirik”, musyrik”, “haram” selalu menuai pro kontra memang. Lalu dalam kasus pawang hujan ini, bagaimana nahdliyyin harus bersikap? Indonesia tidak hanya dihuni oleh umat Islam. Ada pemeluk agama lain yang menjadikan ritual dan persembahan sebagai detak jantungnya. لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ . Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Terakhir, laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

wallahu a’lam bishawwab

Referensi

Tuthill, B. (1954). Hatfield the Rainmaker. Western Folklore, 13(2/3), 107–112.

Novitasari, L., Agustina, P. A., Sukesti, R., Nazri, M. F., & Handhika, J. (2017, August). Fisika, etnosains, dan kearifan lokal dalam pembelajaran sains. In Prosiding SNPF (Seminar Nasional Pendidikan Fisika) (pp. 81–88).

https://mediaindonesia.com/megapolitan/250998/biaya-modifikasi-cuaca-untuk-polusi-sekitar-rp132-juta-per-hari

--

--

KMNU Universitas Indonesia
KMNU Universitas Indonesia

No responses yet