KMNU UI 2019

[#NgajiLiterasi] Memahami Akar Kehidupan, Edisi 2

KMNU Universitas Indonesia
5 min readDec 2, 2019

“Kereta Perjalanan Manusia: Menilik Jawaban Sains dan Filsafat Eksistensialisme”

Oleh: Zainun Nur Hisyam Tahrus (Divisi Kajian dan Keilmuan KMNU UI)

Kalimat pertama kali yang dilontarkan oleh Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi di dalam kitab Madkhal[1] adalah: “Bagaimana jika seseorang yang tertidur lama tiba-tiba terbangun di dalam kereta yang asing dan tak jelas arah tujuannya?”. Sebuah pertanyaan analogis sekaligus reflektif akan manusia yang hidup dalam belantara semesta yang asing.

Kalau boleh sedikit nakal, saya hendak mengatakan bahwa argumen-argumen awal Syaikh Al-Buthi di dalam Madkhal hampir sama dengan pernyataan Martin Heidegger bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan yang terlempar (Dasein).

Pernyataan itu, meski tidak saya setujui sepenuhnya, memang ada benarnya. Semenjak kita dilahirkan dan mempunyai kesadaran, mata kita tiba-tiba saja melihat realitas dunia yang sudah sedemikian adanya. Kita ada di dunia ini secara tiba-tiba tanpa tahu dari mana kita berasal dan hendak ke mana kita berlabuh.

Membaca itu, wajar saja jika manusia dari generasi ke generasi selalu sibuk bertanya. Karena begitulah akal dan kesadaran manusia bekerja. Ibaratkan saja Anda suatu ketika tidur di dalam kamar dan saat terbangun tiba-tiba Anda sudah berada di dalam kereta yang tak jelas berangkat dari stasiun mana dan hendak berhenti di stasiun mana.

Apa yang pertama kali akan terbersit di dalam pikiran Anda? Barangkali pertanyaan-pertanyaan sejenis seperti: Siapa yang memindahkanku ke dalam kereta? Kapan itu terjadi? Siapa yang menjadi dalang dari kejadian ini? Apa yang diharapkannya?

Pertanyaan-pertanyaan demikian sudah pasti akan menyerbu pikiran-pikiran manusia waras manapun yang berada dalam situasi serupa. Situasi kebingungan dan ketidaktahuan akan makna keberadaan dirinya yang tiba-tiba terbangun dalam gerbong kereta yang asing.

Pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tak akan bisa teralihkan oleh hiburan-hiburan di dalam kereta atau pemandangan-pemandangan yang terpampang di luar kereta. Kiranya hal-hal itu hanya mengalihkan sadar sebentar, tetapi kebosanan akan segera datang dan pertanyaan-pertanyaan eksistensialis itu akan kembali menyerang.

Situasi itu mungkin sepele saja jika terjadi pada gerbong kereta mesin yang terbatas ukurannya, jelas arah kanan-kirinya, dan pasti akan berhenti di suatu masa yang tidak terlalu lama.

Namun, bagaimana jika situasi itu terjadi pada kereta alam semesta yang begitu luasnya, yang tidak terlihat ujung tepi batasnya, yang tidak jelas betul arah jalannya, yang entah sampai kapan masa berhentinya? Maka tenggelamlah manusia dalam gelap ketidaktahuan akan makna keberadaan dirinya dan kebingungan yang nyata. Dan akal manusia pun akan tersibukkan mencari jawaban.

Problemnya, manusia tidak mempunyai perangkat yang mampu menguak tabir ketidaktahuan itu. Segala metodologi saintifik yang selama ini kita miliki misalnya, baik metodologi ilmu alam atau ilmu sosial, hanya mampu menguak kepastian pada kenyataan yang ada di masa sekarang (present).

Sedangkan masa lalu (past) kita berisi potongan-potongan fakta yang terputus, dan masa depan kita (future) terutup oleh tabir-tabir yang hanya bisa dibicarakan melalui prediksi asumtif semata. Maka tak ada kepastian yang bisa didapatkan manusia melalui metodologi saintifik kecuali hukum-hukum positif masa sekarang.

Adapun upaya saintifik menggali masa lalu yang jauh atau meneropong masa depan yang belum terjadi hanya akan menghasilkan asumsi-asumsi dan berbagai prasangka kosong belaka.

Argumen-argumen itulah yang diajukan Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitab Madkhal-nya. Akan tetapi, rupanya argumen itu bukan berasal dari Syaikh Al-Buthi semata. Rapuhnya metode sains juga dibongkar oleh intelektual-intelektual Barat, sebut saja semacam Adorno, Habermas, dan kawan-kawannya.

Karena sains dengan segala asumsi dasar positivisme-nya tidak bisa menemukan apapun kecuali melalui pengalaman indrawi. Akibatnya, segala sesuatu yang ada di luar pengalaman mustahil untuk dijawab dengan sains, termasuk pertanyaan dari mana kereta alam semesta ini berasal dan ke mana akan berhenti?

Pada akhirnya, menurut Bary Hindess, klaim objektivitas sains hanya melahirkan saintisme yang dogmatis dan penolakan mentah-mentah sains atas hal-hal metafisika justru dengan sendirinya mengandung ‘metafisika yang diam-diam’[2]

Namun, upaya menjawab asal-usul manusia rupanya tak hanya muncul dari para cendekiawan sains, melainkan juga filsuf-filsuf eksistensialisme. Jawaban mereka berbeda dengan klaim-klaim sains yang berusaha mencari kebenaran objektif melalui metode positivismenya.

Filsafat eksistensialisme berusaha untuk membuat pemakluman bahwa manusia memang hidup dalam ketidakpastian dan mengada dengan menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Bagi kaum eksistensialis, ketidaktahuan metafisis manusia atas asal-usul keberadaannya tidak perlu dipusingkan karena keberadaan manusia (eksistensi) bukan sesuatu yang memiliki esensi asal.

Filsuf eksistensialis menjawab bahwa esensi dan makna keberadaan manusia dibentuk sendiri oleh manusia melalui kesadaran menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Sebagaimana ucap Jean Paul Sartre, salah satu filsuf eksistensialisme ternama, bahwa: “manusia tidaklah lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Demikianlah asas pertama eksistensialisme”[3].

Jawaban itu mungkin terkesan meyakinkan, tetapi jika dipikir kembali, mungkinkah manusia akan terbebas dari serbuan pertanyaan-pertanyaan ketidaktahuannya hanya dengan menerima ketidaktahuan tersebut dan menghidupi keberadaan dirinya begitu saja? Syaikh Al-Buthi dengan tegas menjawab: Tidak. Jikapun berhasil, maka keberhasilan itu tak lebih dari sekadar kepuasan palsu yang tidak menguak jawaban apapun dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia tentang arah kereta semesta-nya yang asing[4].

Ketidakberhasilan sains maupun filsafat eksistensialisme dalam menjawab pertanyaan eksistensial manusia, menurut Syaikh Al-Buthi, pada akhirnya menghantarkan peradaban manusia menuju kehancuran batin. Segala bentuk kemajuan Barat yang materialistis itu misalnya, secara nyata tidak membawa kebahagiaan batin pada manusia.

Meningkatnya angka bunuh diri adalah buktinya. Di Amerika Serikat saja, angka bunuh diri meningkat sebanyak 30% dalam 17 tahun. Tercatat sekitar 45.000 orang melakukan bunuh diri di AS pada tahun 2016. Angka bunuh diri yang bahkan lebih tinggi agregat angka bunuh diri dari 22 negara Timur Tengah yang sudah digoncang sedemikian rupa dengan perang (sebanyak 30.000 orang bunuh diri pada tahun 2015)[5].

Kenyataan tersebut dijadikan argumen oleh Syaikh Al-Buthi bahwa kemajuan materialistis tidak berarti kemajuan kebahagiaan batin. Sebaliknya, kemunduran materialistis bukan berarti kemunduran kebahagiaan batin. Lantas, jika segala kemajuan materialistis dengan sains dan filsafatnya terang-terang tidak mampu menyelamatkan masyarakat Barat dari goncangan keputusasaan. Kepada apa jalan keluar kebingungan eksistensial manusia dapat ditemukan?

Temukan jawabannya di kanal #NgajiLiterasi selanjutnya! 😊

Daftar Referensi:

[1] مدخل إلى فهم الجذور: من أنا؟ و لماذا؟ وإلى أين؟. المؤلف: الشيخ محمد سعيد رمضان البوطي.1992. دارالفكر: دمشق

[2] Fransisco Budi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Hal 173–175

[3] Fuad Hassan. 1989. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Pustaka Jaya: Jakarta Pusat

[4] Perdebatan Syaikh Al-Buthi kepada Eksistensialisme sebenarnya ditulis lengkap oleh beliau dalam kitab Al Madzahib At Tauhidiyyah wal Falsafat Al Mu’ashiroh yang tidak dimungkinkan untuk ditulis lengkap dalam makalah ini.

[5] Angka ini didapatkan bahkan setelah tingkat bunuh diri Timur Tengah sudah mengalami pelonjakan sekitar 100%-152% akibat perang. Sebelum perang, berdasarkan klaim Syaikh Said Ramadhan Al Buthi, tingkat bunuh diri di seluruh jazirah Arab bahkan tidak menyentuh angka 1% dari keseluruhan angka bunuh diri di Amerika Serikat saat itu (sekitar tahun 1992).

--

--

KMNU Universitas Indonesia
KMNU Universitas Indonesia

No responses yet