(KMNU UI 2020)

Menyoal Nihilisme, Membantah Pemikiran Tentang Kesia-siaan Hidup Manusia

KMNU Universitas Indonesia
5 min readAug 21, 2020

--

[#NgajiLiterasi]Memahami Akar Kehidupan, Edisi 4

Oleh: Zainun Nur Hisyam Tahrus (Divisi Kajian dan Keilmuan KMNU UI)

Rasa penasaran manusia untuk mengetahui apa yang ada di balik rahasia semesta seringkali berujung pada semacam kesimpulan nihilistik: bahwa tak ada makna apa-apa dalam kehidupannya. Kesimpulan yang sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pandangan yang didasari oleh keterbatasan materialisme.

Saat perjalanan kehidupan semata dipandang dari kehidupan materil yang muncul dari kebetulan-kebetulan ‘hukum alam’, niscaya yang kita temukan di seberang sana tidak lain adalah kesia-siaan. Suatu kenyataan bahwa kita hanya secuil makhluk baru di tengah alam semesta yang tidak signfikan. Sementara semua pandangan materialisme saintifik ataupun spekulasi filosofis sama sekali tidak memberikan kita jawaban jelas pada darimana asal muasal kehidupan berawal dan kemana muara kehidupan itu akan berakhir.

Tatkala seseorang telah sampai pada kesimpulan kesia-siaan hidup tersebut, pada pemikiran bahwa kehidupannya bukan apa-apa melainkan kebetulan tanpa tujuan, maka apa kiranya yang akan dia lakukan untuk menghadapi kematian yang kian hari kian dekat? Jawabannya bisa diterka, yaitu keinginan serta cita-cita tertingginya dalam menjalani hidup tak lain adalah sebanyak mungkin mendapatkan keuntungan dunia dan sebisa mungkin menghindari kerugian-kerugian di dalamnya. Kehidupannya tak beda seperti binatang tanpa akal, tak ubahnya seperti lalat-lalat yang mengerubungi bangkai.

Gambaran proses pencarian tragis nihilistik itu yang dituliskan oleh Syaikh Al-Buthi dalam salah satu bagian bukunya ‘Abatsul Hayaah Al-Insaniyyah Tukadzzibuhu Jiddiyatun Nizhom Al Kauni (Kesia-siaan Hidup Manusia Terbantahkan Oleh Keteraturan Susunan Semesta). Namun rupanya tak hanya Syaikh Al-Buthi yang berpikiran demikian. Salah satu Maestro Sastra Dunia Leo Tolstoy dalam karyanya A Confession menuliskan betapa pengalamannya mencari hakikat kehidupan menemui hal serupa. Dalam buku itu Tolstoy menulis:

“Pertanyaan -yang memenuhi benakku pada usia 50 tahun membuatku hampir bunuh diri- adalah pertanyaan paling sederhana, yang tertanam di dalam jiwa setiap orang mulai anak yang bodoh hingga dewasa yang paling bijak. Itu adalah pertanyaan tanpa jawaban yang tak bisa ditanggung seorangpun sebagaimana kuketahui dari pengalaman. Pertanyaan itu adalah apa yang akan terjadi dari apa yang kulakukan hari ini atau yang akan kulakukan besok? Apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku.”

Tolstoy bercerita tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaannya mengenai hakikat kehidupan membentur jalan buntu. Segala jawaban saintifik dan filosofis yang ia gali hanya mengantarkannya pada satu kesimpulan: hidupnya adalah kesia-siaan yang tolol. Ia menjadi tak ubahnya mayat hidup, laa yamuutu wa laa yahyaa (tidak bisa disebut mati, tapi tidak pula selayaknya hidup). Hingga pada akhir kisahnya, Tolstoy memilih untuk menjalani keimanannya sebagai seorang Kristen Ortodoks taat yang dianut oleh para petani Rusia.

“Aku kembali pada kepercayaan pada Tuhan, pada kesempurnaan moral dan pada tradisi yang membawa makna kehidupan,”

Jalan keluar yang Tolstoy pilih untuk mengakhiri kebingungannya ini memang berbeda dengan Syaikh Al-Buthi yang mengajukan Islam sebagai solusi. Namun setidaknya ada satu kesamaan yang bisa kita petik dari pengakuan Tolstoy: bahwa manusia berakal sehat tidak bisa hidup tanpa makna, dan manusia tidak bisa memaknai kehidupan kecuali dengan beriman pada Tuhan.

Hanya saja, di akhir kisahnya Tolstoy memilih beriman berdasar alasan bahwa hanya dengan keimanan ‘bongkokan’ (iman tanpa banyak tanya) ia melihat betapa pekerja kasar serta petani Rusia kelas rendah dapat menjalani hidup bahagia. Alasan yang sekiranya kurang bisa diterima oleh para pencari argumentasi logis untuk beriman. Oleh karena itu patut sekarang bertanya, argumen logis apa yang bisa kita hadirkan untuk membuktikan bahwa kehidupan manusia tidak sia-sia dan memiliki tujuan serta makna? Adakah keputusan memaknai kehidupan atau menganggapnya sia-sia sepenuhnya ada di tangan manusia itu sendiri? Atau sebetulnya makna dan tujuan itu telah ada tertanam jauh di dalam dirinya?

Dalam rangka menjawab ini, Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi pertama kali mengajak untuk mengamati hamparan alam semesta yang mengelili kita ini. Adakah seluruh komponen alam ini adalah bongkahan sia-sia yang tak memiliki susunan dan pola-pola ataukah sebaliknya? Jika secara jujur kita mau benar-benar mengamati maka seluruh pergerakan di alam semesta, baik yang bernyawa atau yang tak bernyawa telah mengemban fungsinya masing-masing lalu menjalankan fungsi itu dengan batasan pola-pola yang teratur.

Kita bisa menengok mulai dari komponen sekecil quark hingga sebesar konstelasi galaksi semuanya bergerak pada pola-pola, menetapi fungsi-fungsinya, dan memiliki susunan yang teratur. Keteraturan ini bahkan tidak berubah meski kita memindahkan sudut pandangnya pada keseluruhan susunannya (helicopter view) atau pada bagian-bagian terkecilnya.

Hal yang sama pun bisa kita amati pada gambaran-gambaran kehidupan di sekitar kita, baik hewan atau tetumbuhan di berbagai habitatnya. Adakah dari kehidupan itu yang berjalan tanpa fungsi, pola, dan susunan keteraturan? Jawabannya adalah tidak. Burung-burung membangun sarangnya pada pola-pola yang sama, sebagaian lainnya melakukan migrasi musiman dengan begitu teratur. Bahkan binatang buas punya pola berburu, spesies harimau memilih soliter dan singa-singa berkelompok. Setelah dapat makan dan kenyang, mereka akan berhenti, kembali ke wilayah kekuasaannya sampai pada waktu lapar dan makannya datang kembali.

Keteraturan ini menunjukkan betapa semua makhluk di sekitar kita mengemban fungsi dan tujuannya masing-masing. Hal inilah yang Allah Jalla Jalaluh maksudkan dalam kalam-Nya:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلطَّيْرُ صَٰٓفَّٰتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُۥ وَتَسْبِيحَهُۥ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌۢ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (An-Nur: 41).

قالَ رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهۥ ثُمَّ هَدَىٰ

“Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (Thaha: 50).

Maka setelah semua bukti-bukti bahwa seluruh komponen alam semesta di sekitar kita mengemban tugas dan fungsinya masing-masing, menaati pola-pola yang telah digariskan pada batas-batas tertentu, adakah masuk akal bagi manusia untuk lantas secara tersendiri hidup tanpa tugas dan fungsi apapun? Apakah logis kiranya segala sesuatu di luar manusia bergerak atas pola-pola keteraturan dan batas-batas sementara masyarakat manusia yang berakal dibiarkan bebas bertindak seenak udelnya saja tanpa tujuan? Sungguh tidak bisa diterima!

Namun sekiranya sampai pada titik pembahasan ini masih ada keraguan dan pernyataan yang akan muncul: lalu bagaimana dengan pandangan bahwa manusia karena kekhususannya yang memiliki akal dan kesadaran diri (self-consciousness) membuatnya menjadi makhluk dengan kehendak bebas?

Apa jawaban yang bisa diajukan atas pertanyaan ini? Tunggu sesi #NgajiLiterasi selanjutnya!

--

--

KMNU Universitas Indonesia
KMNU Universitas Indonesia

No responses yet