[#Kalamuna]
Penghujung Tahun: Hakikat Waktu dalam Dimensi Keimanan dan Muamalah pada Kehidupan Umat Islam

KMNU Universitas Indonesia
4 min readDec 31, 2019

Oleh: Amien Rahman Mahendra (Wakil Kepala Divisi Kajian dan Keilmuan KMNU UI)

Bulan Desember sering menjadi momen bagi manusia (tidak terkecuali umat Islam) untuk mengingat segala hal yang telah berlalu selama setahun kebelakang, di sisi lain juga menjadi titik untuk memikirkan rencana-rencana yang akan dilakukan serta hasil yang ingin dicapai di tahun depan. Meskipun Desember adalah nama bulan dari penanggalan masehi yang bukan berasal dari sejarah dan kebudayaan Islam, namun faktanya hingga saat ini mayoritas umat Islam menjadikan penanggalan masehi sebagai ukuran dalam menentukan momen-momen penting dalam kehidupannya. Pergantian tahun (masehi) sering dikaitkan dengan masa kehidupan yang terus berkurang seiring berjalannya usia menjauhi kelahiran dan semakin mendekati kematian, dari masa lalu (Al-mādhi) menuju masa depan (Al-mustaqbal).

Perputaran waktu yang sangat cepat, sejak awal tahun hingga sampai pada penghujung tahun seperti tidak terasa dan berlangsung begitu saja. Tanpa sadar seringkali kita mendapati bahwa waktu telah berputar dan sampai di bulan Desember, padahal rasa-rasanya baru kemarin hari waktu berhenti di bulan Januari. Masa atau waktu yang telah berlalu dan akan datang dapat dipahami dalam dua dimensi kehidupan umat Islam, yaitu keimanan dan muamalah. Dimensi keimanan yang berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah SWT dan dimensi interaksi sosial (muamalah) yang berkaitan dengan amal baik kepada sesama manusia melalui prilaku tolong menolong dalam kebaikan dan kesabaran.

Dua dimensi yang telah disebutkan diatas, mengandung nila-nilai yang pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain dimana nilai-nilai keimanan yang kita anggap sebagai nilai mtulak dan tidak dapat diganggu gugat dalam kehidupan, tidak dapat berdiri sendiri tanpa nilai amal baik yang ada pada interaksi sosial (muamalah) dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatannya. Hal ini menjadi koreksi bagi setiap diri umat Islam dalam hal pemahaman tentang waktu dari moment penghujung dan juga pergantian tahun yang seringkali hanya dipahami dalam dimensi interaksi sosial lewat berbagai bentuk perayaannya. Nilai-nilai yang muncul dalam moment penghujung dan pergantian tahun lebih dominan pada nilai-nilai interaksi sosial dibanding dengan nilai keimanan.

Waktu atau masa (Al-ashr) dalam Islam berada pada tempat yang sakral, sering diibaratkan bahwa waktu merupakan hal yang berharga dalam kehidupan, hal yang tidak bisa dibeli, dan tidak bisa dimonopoli bahkan oleh pihak yang merasa paling memiliki dunia dengan kekayaannya. Dalam Islam, waktu adalah kekuasaan Allah SWT semata dan tidak ada pihak lain yang mampu mengatur segala hal yang berkaitan dengan waktu.

Kehidupan manusia juga tidak terlepas dari pengibaratan waktu, gambaran tentang kehidupan yang muncul dari narasi-narasi agama Islam adalah tentang seorang musafir yang sedang berada dalam perjalanan waktu yang sangat panjang dan kehidupan dunia tidak lebih dari separuh jalan dari perjalanan tersebut, kehidupan dunia hanya sebagian kecil dari pengembaraan seorang hamba dalam lintas waktu sejak alam rahim, alam dunia, dan alam akhirat. Ibarat lain tentang waktu dalam Islam adalah untaian garis panjang yang antara ujung dan ujungnya sebenarnya tidak fiks, sesorang boleh berpendapat kalau awal dari garis tersebut adalah proses pembuahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi apakah sebelum itu waktu tidak terdefinisi?. Atau pendapat lain mengatakan bahwa akhir dari garis tersebut adalah hari akhir, tetapi apakah setelah kiamat waktu berhenti dan alam akhirat tidak memberi definisi terhadap waktu?

Dimensi keimanan dan sosial dalam keterkaitannya dengan hakikat waktu tidak berhenti pada ibadah dan interaksi sosial dengan sesama manusia saja, lebih jauh lagi kedua dimensi yang menjadi hal pokok dari pengakuan seorang hamba tentang agamanya tersebut dapat diinterpretasi lagi sebagai bentuk-bentuk lain dari nilai yang eksis dalam kehidupan umat Islam. Sehingga dalam moment pergantian tahun yang berkaitan erat dengan pembahasan tentang waktu, tidak hanya dimensi muamalah seorang muslim yang ditonjolkan secara massif. Di sisi lain, dimensi keimanan dapat lebih jauh diinterpretasi dan dipahami, sehingga tidak terpaku pada bentuk-bentuk lama dari perwujudan dimensi keimanan yang kaku pada keyakinan generasi atau telah diyakini sebelumnya.

Umat Islam modern mempunyai kemampuan dari segi intelektualitas dan budaya berfikir kritis secara lebih inklusif untuk menginterpretasi semua fenomena yang ada dalam kehidupan, tidak terpaku dengan nila-nilai lama dalam dimensi keimanan dan sosial. Dengan kemampuan tersebut, sewajarnya umat Islam mampu untuk memaknai moment penghujung dan pergantian tahun tidak hanya berdasar pada dimensi sosial semata, namun juga memerhatikan dan mungkin menitikberatkan pemaknaan tersebut pada dimensi keimanan yang telah sejak lama dilupakan serta seakan-akan dinomorduakan. Kedua dimensi akan lebih selaras jika ditempatkan dan diberi porsi secara seimbang sehingga setiap diri muslim layak untuk dilabeli sebagai manusia yang sempurna (insan kamil) dalam artian mampu menyeimbangkan dimensi keimanan dan sosial dalam setiap moment atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.

--

--

KMNU Universitas Indonesia
KMNU Universitas Indonesia

No responses yet