[#Kalamuna] Kerusakan Alam dan Peran Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi
Oleh: Amien Rahman Mahendra (Divisi Kajian dan Keilmuan KMNU UI 2020)
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dengan wujud yang sebaik-baiknya, manusia memiliki akal dan nafsu yang menjadikannya makhluk terpilih untuk mengelola bumi sebagai tempat tinggalnya. Oleh sebab itu, di dalam Al-qur’an manusia disebut sebagai khalifah di muka bumi (jaailun fil ardhi khalifah). Tuhan memberi manusia kapasitas untuk mengelola bumi sejak Adam AS turun ke bumi dengan istrinya (Hawa) yang kemudian memakmurkan bumi setelah kematiannya. Sebaliknya, manusia juga adalah makhluk yang akan melakukan kerusakan di muka bumi secara besar-besaran. Sebelum penciptaan Adam, tuhan menerangkan kepada makhluk lain yang lebih dahulu diciptakan-Nya (Malaikat) bahwa manusia akan menjadi pemimpin (khalifah) di bumi. Malaikat membantah bahwa manusia akan melakukan banyak kerusakan di bumi karena ia memiliki akal dan nafsu. Dalam hal ini malaikat seolah mau menyombongkan dirinya sebagai makhluk atau hamba Tuhan dengan cara mengajari Tuhan tentang manusia. Malaikat lupa bahwa Tuhan lebih tahu tentang manusia karena Ia yang menciptakannya.
Kerusakan di muka bumi pada hari-hari ini disebut dengan term atau konsep kerusakan alam yang secara lebih lanjut mengakibatkan perubahan iklim. Kerusakan alam dan perubahan iklim merupakan hal yang terpisahkan satu sama lain terutama apa yang terjadi di beberapa dekade belakangan. Peran manusia dalam kerusakan alam dan perubahan iklim di beberapa dekade terakhir sangat besar, bahkan perubahan iklim saat ini sering disebut sebagai “anthropogenic climate change” atau perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia. Manusia yang dimaksud dalam term ini lebih tepat untuk disebut sebagai keserakahan manusia dan tentu saja didukung dengan ilmu pengetahuan dan produk utamanya, teknologi.
Jauh sebelum kerusakan alam dan perubahan iklim yang terjadi beberapa dekade terakhir, Al-quran yang merupakan perkataan tuhan telah memuatnya sejak 1400-an tahun lalu pada saat Al-quran diturunkan dan kemudian dibukukan. Konsep alam seperti yang dipahami sebagai tempat hidup atau habitat bagi hewan, tumbuhan dan manusia dalam al-quran disebut sebagai daratan dan lautan (al-barru wa al-bahru). Dalam salah satu ayat Al-quran, dijelaskan bahwa kerusakan yang tampak secara jelas memang diakibatkan oleh tangan (ulah) manusia. Lalu apa peran khalifah manusia di bumi selain melakukan kerusakan yang bahkan tuhan mengetahui terhadap hal itu ketika penciptaannya? Apakah khalifah yang dimaksud selama ini adalah pelaku utama perusakan muka bumi?
Peran manusia sebagai khalifah di muka bumi terletak pada kemampuannya untuk mengkonstruksi rencana -dengan memertimbangkan berbagai hal yang akan terjadi di masa mendatang- untuk mengelola alam yang digunakan sebagai tempat tinggal dalam kehidupan kesehariannya. Berbagai pertimbangan yang mampu dilakukan manusia ini karena ia memiliki akal, tidak seperti makhluk lain ciptaan tuhan seperti hewan yang hanya memiliki nafsu dan malaikat yang hanya memiliki sifat penghambaan total (ketaqwaan). Dengan akal yang dimiliki, manusia memiliki kapasitas untuk memikirkan batasan-batasan yang (seharusnya) disepakati agar keseimbangan dan kesinambungan alam tidak “terlalu” terganggu.
Konsep khalifah yang dimuat dalam tulisan ini mungkin jauh dari apa yang selama ini dipahami terhadapnya, selama ini khalifah selalu diidentikkan dengan konsep yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam bentuk Negara khilafah, atau secara lebih jauh menjadi konsep tentang superioritas umat islam atas umat agama lain terlebih di Negara yang mayoritas warganya beragama islam seperti Indonesia. Peran khalifah manusia secara universal tanpa terkotak-kotak berbagai identitas seperti agama, ras, suku, dan aliran sebenarnya justru terletak pada kesanggupan diri manusia untuk membatasi apa yang mampu dilakukan terhadap alam, manusia lain dan bahkan makhluk hidup lain agar tetap berada di dalam kehidupan yang adil dan menyejahterakan seluruh penghuni daratan dan lautan.
Kesanggupan manusia untuk menahan segala hal yang dapat dilakukannya ini dalam bermasyarakat dibatasi dengan nilai moral etika dan hak asasi yang dimiliki setiap manusia. Nilai moral dan hak asasi setiap manusia ini merupakan pembatas antara hak dan kewajiban satu manusia dengan manusia lain, sehingga kehidupan manusia tidak mengganggu kebebasan hidup manusia lain. Sayangnya, hal ini tidak berlaku pada hewan dan tumbuhan. Selama ini tidak pernah dibahas dan ditekankan tentang hak hewan dan tumbuhan ketika kerusakan alam dilakukan manusia. Alasan utama pembahasan tentang hak hewan dan tumbuhan tidak pernah dibahas dalam berbagai diskursus adalah pandangan “cheap nature”, satu pandangan yang memandang alam (hewan dan tumbuhan) hanya sebagai objek yang wajar apabila manusia melakukan eksploitasi terhadapnya.
Manusia menjadi khalifah karena nilai-nilai kemanusiaan yang melekat padanya, sifat mendasar manusia seringkali akhir-akhir ini terkikis oleh sifat-sifat serakah yang tidak akan pernah menemui kepuasan dan akhiran. Sifat mendasar manusia dengan nilai-nilai kemanusian yang membersamainya adalah peran khilafah terpenting yang diberikan tuhan kepada manusia. Dengan sifat mendasar, nilai kemanusiaan, dan akal budi menjadikan manusia makhluk yang tercipta sebagai khalifah di bumi sekaligus yang membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan.