[#Kalamuna]

KMNU Universitas Indonesia
4 min readNov 25, 2019

Maulid Nabi Muhammad SAW: Meneladani Prinsip Humanisme sebagai Jembatan Membangun Kesadaran Sosial secara Inklusif

Oleh: Adli Muaddib Aminan (Kepala Divisi Kajian dan Keilmuan KMNU UI)

Maulid Nabi adalah salah satu tradisi Islam yang memiliki spirit kemanusiaan. Di dalam perayaan Maulid, banyak dibacakan shalawat, al-Barzanji, ad-Diba’i, Simtuddurar, dan bacaan lain yang berisi mengenang sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu peringatan Maulid Nabi bukan hanya dimaknai secara seremonial, namun juga harus dimaknai dengan mengambil spirit perjuangan Nabi untuk kita aktualisasikan dalam kehidupan.

Sejarah masa lalu mencatat banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanisme Islam. Banyak fakta gamblang yang bisa diambil benang merahnya sebagai pelajaran berharga bagi kita semua. Konteks tauhid yang dianut merupakan dimensi ideal-transendental dalam ajaran Islam yang tidak boleh dipisahkan dari kehidupan sosialnya. Tetapi sayangnya secara empiris dalam masyarakat, ajaran-ajaran yang humanis dan menekankan nilai-nilai sosial ini tidak nampak kental dalam masyarakat muslim. Justru yang terjadi malah sebaliknya.

Ada kesenjangan dalam realitas masyarakat muslim antara nilai-nilai agama yang bersifat ideal (baca: iman) dengan nilai-nilai sosialnya (baca: amal saleh). Orang Islam lebih peka (tersinggung) jika agamanya dilecehkan, sementara tidak peka dan tersinggung jika ada ketimpangan sosial di mana-mana.

Hal ini tentu harus menjadi perhatian kita sebagai seorang muslim. Jangan sampai kemusliman kita justru menjadikan seolah-olah hidup di dunia yang sempit dan berbeda dari dunia manusia pada umumnya, tidak mengenal belas kasihan antar sesama manusia yang pada dasarnya adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Kita tidak perlu khawatir dengan anggapan jika menerapkan prinsip humanisme dalam kehidupan akan menyebabkan kita mengikuti teori barat (tasyabbuh), tetapi kita cukup belajar dari Nabi Muhammad SAW yang memerlakukan manusia di tengah keberagaman sifat dan agama mereka.

Nabi Muhammad SAW adalah salah satu simbol representatif yang bisa dianggap paling purna untuk prinsip ini. Beliau diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia (innama buistu li utammima makarimal akhlak). Pendidikan Nabi Muhammad SAW dikategorikan sebagai pendidikan yang humanis bahkan melebihi definisi humanis yang dikembangkan sekarang ini, di mana pengertian yang digunakan justru terkadang terjadi dehumanisasi secara aplikatif yang meninggalkan dimensi teosesntris yang seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Pendidikan Nabi SAW dimulai ketika awal penyebaran agama Islam dengan memerangi praktik tradisi orang Arab saat itu yang menguburkan anak-anak perempuan mereka karena dianggap aib dan sebagainya. Kehadiran Nabi di sini sebagai penegak nilai-nilai humanisme dan memuliakan umat manusia untuk memiliki hak yang sama dengan manusia yang lainnya.

Gerakan yang dilakukan Nabi berorientasi pada masalah-masalah pembangunan umat dan pembinaan masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi, dan ketidakadilan dalam bentuk apapun. Al-Quran yang dibawa pun secara tegas mengutuk penindasan dan ketidakadilan, maka perhatian beliau terhadap wujud sosial yang baik dari masyarakat yang egaliter tidak bisa disangkal lagi.

Terlepas dari signifikansinya, istilah-istilah dalam al-Quran juga mempunyai konotasi-konotasi sosial-ekonomi. Dengan demikian, term kafir dalam al-Quran tidak hanya bermakna ingkar terhadap Tuhan, melainkan secara tidak langsung juga menentang terhadap keadilan dan kejujuran yang seharusnya diwujudkan dalam suatu masyarakat. Orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT harus menunjukkan keberpihakannya (komitmen) terhadap orang-orang yang lemah (al-mustadh’afin) seperti anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar, dan menegakkan keadilan di muka bumi ini.

Dalam masalah relasi sosial, Nabi juga menegaskan: “Bahwa tidak dianggap sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Apa yang ditegaskan Nabi ini sebetulnya memiliki makna yang dalam jika dikaitkan dengan isu kontemporer dan problematika saat ini, misalnya masalah hak asasi manusia (HAM), keadilan, persatuan, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Ini artinya juga, bahwa dimensi Islam itu tidak hanya bercorak teosentris, tetapi juga antroposentris. Karena agama diturunkan Tuhan untuk manusia dan manusia tidak lepas dari ketergantungannya dengan manusia lain, atau juga alam ciptaan Tuhan, maka bagaimanapun persoalan ini harus tidak terabaikan. Sehingga dengan demikian ajaran tauhid tidak terlepas dari dimensi sosialnya.

Dari segi kosmologis yang diambil melalui kacamata humanisme, manusia tidak boleh membuat kerusakan (destruktif) terhadap alam atau merusak lingkungan. Manusia pada dasarnya dipercaya Tuhan untuk menjadi khalifah fil-ardh, maka ia harus melestarikan, bahkan mendayagunakannya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia secara komprehensif. Dalam posisi inilah manusia dituntut untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW yang disebut rahmatan lil-’alamin. Ini merupakan tanggung jawab manusia beriman untuk senantiasa mematuhinya sebagai khalifah fil-ardh. Jika tidak mampu, maka predikat tersebut secara otomatis akan tercerabut dengan sendirinya dari diri seorang muslim.

Pernah kita dengar kisah seorang wanita yang menganiaya seekor kucing akhirnya ia dijebloskan ke dalam neraka. Sementara pelacur yang memberi minum seekor anjing diampuni dosanya berkat belas kasih dan ketulusan di hatinya. Dari sinilah akhirnya muncul ungkapan ‘kemanusiaan sebelum beragama’ (al-insaniyyah qabla al-tadayyun), memahami entitas manusia secara kompleks. Maka dari itu sudah saatnya kita ini membangunkan rasa humanisme dari tidur panjangnya guna menuai kenyamanan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Wallohu a’lam bisshowab…

--

--

KMNU Universitas Indonesia
KMNU Universitas Indonesia

No responses yet